Pintu, Pintu



Siang itu matahari terik menusuk kulit kami. Kami berempat sudah berjalan begitu jauh. Berliter keringat kami terbuang sudah, mengalir melalui pori kulit kami dan menetes begitu saja ke tanah gersang yang asing ini. Kulit kami mulai terbakar, memerah, panas. Kami beristirahat sejenak dengan bekal kami. Hanya sebotol air minum yang tersisa, kami duduk mengelilinginya.
Satu botol kecil air minum. Benar-benar hanya satu untuk kami semua. Sisanya hanya makanan. Kami tidak lapar. Tidak kami ketahui sebelumnya kami akan sampai di tempat seperti ini. Kami semua terdiam tak berani menyentuhnya. Takut akan perjalanan gersang yang mungkin akan lebih lama lagi.

"Aku sudah tidak tahan lagi!", Joni berteriak kesal dan menenggak air sisa itu.

"Hei!", pekik Leah sambil menenggakkan kepalanya ke arah Joni yang sudah berdiri. Tapi tak ada seorang pun yang mencegah Joni. Diam. Seakan berpikir tidak ada gunanya minum meski hanya sedikit. Semua menunduk di bawah topi rimbanya masing-masing. Pasrah. Kami haus. Tapi keputusasaan kami dapat mengalahkan segalanya saat itu.

Aku melirik pada Ethan yang sedari tadi hanya diam. Ia pemimpin kami. Tapi kini ia sendiri belum melakukan apapun. Kami belum tahu harus melakukan apa, bahkan mungkin Ethan juga.

Ethan berdiri seketika dan mencengkeram tangan Joni ketika air kami hampir habis. Joni menjauhkan botol minum dari mulutnya. Mereka saling tatap dalam waktu yang lama. Keduanya tak berkutik. Tak ingin berkelahi, namun meluapkan emosi mereka lewat tatap tajam.

Seketika Ethan teralihkan dengan sesosok lelaki yang lewat di seberang pandangannya. Orang itu menghilang.

"Apa yang...", bisik Ethan sambil merenggangkan cengkeraman tangannya. "Tadi ada...", lanjutnya meski pernyataannya menggantung. Membuat kami bingung.

"Apa?", Joni menangkap kebingungan Ethan dan menengok ke belakang. Tak ia dapati apa-apa. "Ethan?", tanyanya lagi.

Ethan tak menjawab dan melepas cengkeraman tangannya seutuhnya. Ia berjalan meninggalkan tempat peristirahatan kami, sedikit berlari ke arah menghilangnya sosok yang ia lihat. Kami mengikuti Ethan. Ethan menghilang bagai ada portal menuju alam lain. Kami terkejut dan berhenti seketika.

"Wow! Apa yang...", seru Joni sambil merentangkan tangannya seakan menghentikan laju gerak kami.
 
Aku menepis tangan Joni sambil berjalan dengan sedikit keraguan yang terkalahkan dengan rasa penasaranku. Joni dan Leah mengikutiku.

Kami menghilang. Menembus dinding tak terlihat bagai pintu menuju dimensi lain. Kami sampai di antah berantah. Pemandangannya bagai halaman istana yang luas. Kami dihadapkan dengan labirin dengan dinding yang tinggi. Hijau karena terbuat dari tanaman, namun tampak cukup tebal hingga tak bisa tertembus.

Itu dia, Ethan. Sedikit berlari seperti mengejar sesuatu dan masuk dalam labirin. Kami mengejar. Terus hingga jauh ke dalam labirin. Begitu banyak kelokan yang kami lalui. Kami tahu akan sangat sulit kami kembali. Kami tak ingin kembali sejujurnya, membuat kami tak ingin menengok ke belakang. Seperti dikejar, namun tak ada yang mengejar kami. Waktu? Mungkin.

Kami sampai pada tembok besar dengan cekungan besar berbentuk lubang kunci tak hanya satu beberapa cekungan yang sama berderet. Entah ada berapa bentuk yang sama. Tembok itu terbentang jauh, sepertinya.

Kami bertiga memperlambat lari kami. Ethan mnengok ke belakang ke arah kami, tahu kami ikuti. Tatapan tanpa ekspresi itu sepertinya familiar, kupikir, tapi tak dapat ku ingat. Ethan masuk menembus tembok itu. Kami berlari kembali ke arah Ethan yang sudah menghilang.


"Hei!", kata Leah sesampainya di tembok besar itu, menggedor-gedor tembok itu, tapi tak dapat tertembus. Joni mengikutinya dan ikut menggedor tembok itu.

"Hei, lihat!", kata ku menghentikan aksi mereka. Aku menyentuhkan tanganku sedikit mendorong pelan ke dalam lekukan lubang kunci itu. Aku terhisap ke dalam, agak panik sebenarnya. Tapi aku pasrah terhisap, memejamkan mata, wajahku seperti terkena ranting berdaun lebat. Aku tahu Ethan di seberang sana. Joni dan Leah mengikuti.

"Aw!", keluh Joni dan Leah hampir bersamaan.

Kami tiba di sebuah ruangan bernuansa timur tengah. Ku lihat Ethan sudah setengah menghilang di lantai. Melewati sebuah kalung mutiara berwarna ungu. Berpendar ketika Ethan melewatinya.
Aku segera mengikuti Ethan melompat melalui kalung itu, diikuti oleh Joni dan Leah.

Terus, terus, dan terus kami lewati pintu-pintu menuju dimensi-dimensi lain. Berbagai macam pintu kami lewati. Lapisan membran tipis berlendir, lubang di tengah pasir hisap dalam hutan hujan, menyelami danau tanpa kami harus menahan napas, celah peron, lemari pakaian, mulut hiu?, atau pintu lainnya yang membuat kami selalu terkejut, atau hampir mati. Entah berapa lama kami melalui perjalanan yang aneh ini. Berkali-kali berenang, berkali-kali berlari, berkali-kali terheran. Ya, berkali-kali.

Bahkan kini kami berada di tengah badai salju yang membuat kami kedinginan setengah mati. Badai itu menghambat gerak kami, bahkan membuat kami kehilangan Ethan. Memang tempatnya yang selalu berubah, tidak dengan baju kami. Tepat sebelum kami menyerah, kami menemukan sebuah lubang gua yang mengarah agak ke bawah dan memasukinya. Ternyata Ethan sudah berada di dalam, berusaha melewati  celah yang terlihat dalam. Kau sudah tahu apa yang kami lakukan. Ya, tentu saja kami mengikutinya.

Setelah melewati celah sempit dalam gua di tengah badai salju itu, kami sampai pada tempat yang amat kami kenal. Heran. Kami hanya saling pandang. Kami kembali pada tempat peristirahatan kami di gurun. Tapi ada satu hal yang lebih mengherankan. Di sana, tepat di tempat kami duduk dan sempat bersitegang tadi ada kami di sana. Siapa mereka? Kenapa?

Kejadian yang sama pada kami kembali terulang pada mereka, kami yang lain. Joni yang menghabiskan minum kami, pekikan Leah, dan Ethan. Tentu saja Ethan yang lain. Ia mengejar seorang lelaki dengan jubah itu. Namun lelaki itu tidak ke mana-mana. Ia berdiri tegak memandang Ethan. Keduanya berhadapan. Lelaki itu menghadapkan telapak tangannya pada Ethan. Tangannya mengeluarkan cahaya biru terang yang lembut yang perlahan merayap ke kepala Ethan. Kami yang lain kini berusaha berlari ke arah Ethan, mungkin untuk menyelamatkannya. Cahaya itu membuat mata Ethan menyala biru. Sepertinya ia kehilangan kesadarannya. Berlutut lemas dan ambruk.

Kemudian tangan lelaki berjubah itu beralih pada kami yang lain, dan seketika itu pula lari mereka terhenti. Perubahan yang sama terjadi pada mata mereka. Ambruk. Mereka tergeletak di sana. Bergeliat. Kami hanya bisa diam dan menyaksikan dengan tegang, tanpa berbuat apa-apa. Apakah kami harus lari? Atau melawan? Menyelamatkan mereka? Tapi bagaimana?

Kami yang lain masih berusaha bangkit dan melawan kesakitan yang mungkin mereka rasakan. Semakin lemah erangan mereka, semakin kami menyadari bahwa kami perlahan menghilang. Tangan kami mulai transparan dan semakin tidak terlihat. Mati rasa sudah. Aku berlutut lemas dan akhirnya ambruk. Semakin kami menghilang, aku menyadari satu hal, di mana Ethan? Ethan kami yang sedari tadi kami kejar? Aku mengernyitkan mataku yang semakin kabur untuk melihat si lelaki berjubah itu. Hal terakhir yang aku lihat lelaki itu membuka tudung jubahnya, aku bisa melihat wajahnya. Ethan. Kemudian semuanya berubah gelap.


vidyafa

Berhenti

Sebuah kata dalam baris puisi
Ingat kita dalam sebuah akuisisi
Membawa kita dalam petisi
Merenggut hati segala isi

Aku berhenti
Bukan buku yang berarti
Hanya hati yang terlucuti
Mata hati tidak mati

Ingat dulu yang kau lalui
Terlewati ku akui
Apalah arti eksekusi
Jika hanya dalam jeruji

Seketika ku berhenti
Mata hati kini mati
Tanpa tahu hendak nanti
Kini aku berhenti

vidyafa

Urusan Dia

Dont you know?
Akhir-akhir ini kami terlibat dalam sebuah kelompok, sebuah kepanitiaan yang khusus menangani suatu event rutin yang kami garap.
Event ini memang salah satu yang kami buat, salah satu tanggung jawab besar kami, salah satu ladang pahala bagi kami (aamiin).
Karena ada sebuah tanggung jawab, di dalamnya ada satu penanggung jawab kami, pemimpin kami yang seharusnya bisa merangkul dan menuntun kami.
Suatu ketika, beberapa dari kami merasa ada beberapa hal yang membuat kami jengah dengan si penanggung jawab itu.
First thing first, many of us gave our ideas, tapi ditolak. Terkadang penolakannya bukan dengan alasan yang baik, bahkan terkadang tidak bisa diterima, atau mungkin dengan nada merendahkan (?) Who knows people see it like that, hmm.
Next, ketika kami dibebankan suatu pekerjaan, kami dilepas. Kemudian kami datang dengan rencana matang kami, namun semuanya diubah. Lalu kenapa tidak sedari awal kami dibimbing? Atau setidaknya diarahkan?
Aaand other things.
One day, someone told me, "wajar sih, karena dia pj, memang tanggung jawabnya besar, pegang sana sini".
Okay, it's much illuminating, but thats it, I didnt really see the point. I get it, but not really.
Then, one day, someone yang sudah berpengalaman sana-sini dan sudah makan banyak asam garam serta mengerti banyak hal, she told me (not only me actually) "... Just do what our leader told us to do, even they never listen to us, or never accept our ideas, its okay" then there was a little gap in silence, she continued just before I nearly gulp it all over "itu urusan dia nanti sama Allah".
Thats it. Whatever it is, just do it. Yang penting kita ikhlas, ridhlo dan hanya mengharap pahala-Nya. Ingat saja segala sesuatu yang kita perbuat pasti ada ganjarannya, Insyaa Allah.
Kita hanya mengharap pahala bukan?! 
vidyafa

Si Dia yang Buruk Rupa

Terlalu banyak yang ingin dikatakan untuk berkata-kata.

Akhir-akhir ini terlalu banyak dan semakin mencuat lah keburukan Si Dia. Sudah banyak yang menegur, mencoba mengingatkan, mencoba meluruskan dan menyadarkan Si Dia.

Si Dia bilang, ia suka jika banyak orang menegurnya jika ada yang salah pasa si Dia. "Untuk mengingatkan", katanya.
Tapi setelahnya, apa yang dilakukan si Dia? Apa pengaruh bagi si Dia itu? Apakah Si Dia hanya mendengarkan tanpa menyelami apa yang orang serukan? Mungkin. Ataukah Si Dia hanya pura-pura mendengar dengan sumbatan gendang telinganya bertengger di sana?

Orang yang dianggap membahayakan Si Dia, dibungkam, diberhentikan, dibekukan, dan dicabut hak-haknya. Dijerumuskan dalam penjara kesunyian. Tak hanya itu, nama bersihnya dikotori dengan segudang tuduhan. Namanya dilibatkan dalam momen-momen perseteruan.

Apakah tidak cukup?

Masih banyak korban yang tak kau lihat. Korban dari Si Dia yang tak kau ketahui namanya. Korban dari pelucutan hak yang seharusnya dimiliki.

Sudah saatnya semua tahu Si Dia yang Buruk Rupa. Si Dia yang menebar kebohongan. Perkataan Si Dia hanyalah angin lalu. Biarlah Si Dia pergi bersama apa yang menaunginya. Sudah saatnya kebenaran yang menaungi kita.

-vidyafa-

Talent and Hardworking

There are two kind of people in this world
1. People with talent, and
2. People with hardworking

First one, they naturally and usually easy getting something. But its also hard to make it remains on their selves and to make it better and better.

Second one, they will get what they want to be with a long fight. They learn, they fight for it, they make it better. The fighting itself is hard to do.

Which one?
I think everybody's learning. Easy or not, IT IS hard to make what they learnt better and better.

Talent without hardworking is the worst.

Balada Tingkat Akhir

Klise memang judulya

Eits, tapi ini bukanlah sebuah post berisi keluhan anak tingkat akhir yang mengeluh sana-sini atau mempermasalahkan dirinya yang malas. Bukan juga tentang anak tingkat akhir yang mengejar dosen hingga dikejar dosen. Atau bahkan mengenai persoalan cintanya yang belum kelar. 100% not one of those.

Ini tentang anak tingkat akhir dan temannya.

Mahasiswa tingkat akhir yang umumnya sedang menjalankan penelitian, tugas akhir, skripsi bakal sering tanya satu sama lain mengenai progress mengenai tiga perkara itu.
Contohnya: udah sampai mana? kapan kolokium? kapan seminar? kapan sidang? udah daftar ini? udah daftar itu?
like whatever lah.
Pertanyaan-pertanyaan itu entah dilontarkan untuk sekedar basa-basi seperti kebiasaan orang-orang karena nggak tahu topik apa lagi yang bisa mereka omongin -well, gue juga terkadang kehabisan topik, maka gunakan yang basa-basi ini :p.
Atau untuk bercanda, yang biasanya dilontarkan dengan nada menyebalkan wk cenderung nyindir. Yang ini nih yang jadi kebiasaan anak muda. Suka bercanda bahkan sampai kelewatan. Karena kebiasaan ini lah banyak orang yang menganggap bahwa semua pertanyaan itu 'menyindir'.
Tapi kan nggak semua seperti itu. Ada juga lho yang hanya ingin memperlihatkan kepeduliannya, atau bahkan BENAR-BENAR PEDULI sama kamu.

Hmm, it just happened. just.
I asked one of my closest friends about her seminar if it have took a date or not. And you know what? she replied in a question. Balasannya itu kaya orang nyindir balik suatu sindiran. Ya gue berusaha netral aja. Mungkin dia bercanda atau apa, yaa gue jawab pertanyaannya. Bercanda sih jawabnya, tapi serius. Dan gue tambahin maksud gue nanya itu apa. And then what. She just read it. I just dont get it why she... I dont know. Maybe she's tired or something.
But hey, its me whos asking. I dont really want to hurt you :(
- ugh, actually its really annoying when people don't get what you mean.

Pernah sih, gue menanggapi suatu pertanyaan semacam itu dengan ogah-ogahan karena yang nanyain terkadang menyebalkan :') - maaf yaa - dan saat itu gue sedang sakit - uu kacian wkwk.

But, People. Listen to this. Read this!
I wonder if people can, not to think people are the same. Apakah sulit untuk berusaha menganggap netral sebuah pertanyaan? - sulit sih emang hahha.
Jawab saja pertanyaan itu seperti biasa yang bisa kamu jadikan sebuah do'a, tinggal tambahkan InsyaaAllah, Bismillah, Aamiin. Ucapan itu do'a kan?! Well, gue percaya.

Toh kita sama-sama sedang usaha, sama-sama berada di suatu ambang, sama-sama dalam ketidakpastian. Dan kita berada di tahap yang sama.

And why did I ask her again? Because I just wanna be by your side, whatever it takes. Its you who choose to open your door or not.
Be by your side doesn't mean to support you weather you right or wrong. Be by your side means to protect you from doing wrong, weather its hurt or not.

Kata orang tingkat akhir menguak semua sifat asli mahasiswa. So, is that you?

vidyafa

Senyum Rembulan

Malam begitu dingin menusuk hingga tulangku tak bisa merasakan apa-apa. Aku berhenti dari lari panjangku yang sudah entah berapa lama. Aku tak terduduk, tetap berdiri kemudian menengadah menatap langit di tengah padang sabana. Ada bulan. Ya, rembulan yang tersenyum, seakan melengkungkan senyum kemenangan. Kemudian aku mulai menjejakkan kaki kembali melangkah menuju sebuah pohon nun jauh di sana.
Beberapa langkah sudah aku memijakkan kaki ke tanah sambil mengingat apa yang terjadi beberapa waktu lalu. Beberapa waktu lalu aku sedang berlari kencang sembari menahan sakitnya luka di sana sini. Aku berlari dengan ketakutan yang amat sangat. Entah apa yang aku takuti. Terluka? Mungkin. Mati? Sangat mungkin. Kehilangan nyawa adalah hal yang paling tabu untuk aku pikirkan sejak kecil. Akan ada banyak pikiran liar tentang kematian yang menyeruak masuk dan memenuhi saluruh rongga kepalaku.
Sampailah aku pada pohon yang sedari tadi aku targetkan. Ternyata lumayan besar, jauh dari bayanganku sebelumnya. Tak terlalu besar untuk dipanjat. Aku pun memanjat pohon itu dengan susah payah. Berharap tak ditemukan oleh makhluk yang sudah menghabisi keluargaku. Monster.
Sampailah aku pada dahan yang lumayan kuat menopangku. Aku terbaring dan kembali menatap senyuman rembulan. Aku kembali teringat dengan peristiwa penghabisan di rumah. Ingatan itu sudah tak bisa mengalirkan air mata. Jauh dari rumah yang sudah tidak ada penghuninya membuatku mati rasa. Aku lelah. Ingin tidur. Tapi ingatan keluargaku membuatku terjaga. Tapi akhirnya mataku tertutup juga. Aku merasa aman.
Tiba-tiba aku terbangun karena suara lolongan. Mataku membelalak menatap bulan yang tersenyum semakin lebar. Lolongan itu. Lolongan si monster. Lolongan si pembunuh. Lolongan itu terdengar sangat dekat. Aku lengah. Jantungku berpacu dengan napasku yabg tersengal karena kaget. Tidak akan sempat rasanya bila aku turun dan kembali berlari. Dan luka-lukaku akhirnya memberi rasa sakit yang samakin luas. Sepertinya ia mencium bau darahku. Memang sudah tidak mengeluarkan darah sebanyak tadi, tapi tetap menetes. Aku tak bisa beranjak lebih jauh. Aku akan tetap di sini sampai monster itu berlalu sambil menekan luka lenganku yang masih menetes. Aku menunggu.
Lolongan itu semakin dekat. Aku membelalak kaget setelah mendengar lolongan lain bersama si monster. Ia tidak sendirian. Degup jantung yang mulai mereda kini kembali berdetak kencang. Aku mulai panik. Dua, tiga, empat, lima... Detak jantungku menghitung jumlah kawanan monster itu. Napasku makin tersengal, namun aku berusaha diam. Kawanan monster itu berbicara satu sama lain, dan berhenti tepat di bawah pohonku. Entah apa yabg mereka bicarakan, aku tidak mengerti bahasanya. Erangan, desisan, dan satu dua lolongan. Kemudian mereka mengambil posisi istirahat. Mungkin mereka mau tidur. Ini akan memakan waktu lama.
Darah dari luka yang sedari tadi ku tekan akhirnya tak terbendung, mencari sela untuk keluar. Aku menyadarinya, namun aku tak dapat berbuat apa-apa. Tes. Darah itu menetes ke atas kepala salah satu dari kawanan monster itu. Ia terbangun dan menengadah ke atas pohon. Check mate. Monster itu menggeram srhungga membangunkan monster lainnya yang belum sepenuhnya tertidur. Monster lain tersenyum lebar. Aku mulai mengambil posisi siaga. Salah satu monster mengetuk-ngetukkan kukunya ke pohon, membuat aku menengok padanya. Tanpa ku sadari monster yang terjauh dari pohon melompat berusaha menerkamku dan membuat dahan yang ku gantungi patah. Aku terjatuh bersamanya. Aku berusaha berlari. Monster lainnya menerkamku. Cakarnya menancap tepat di pinggangku dan membalikkan badanku secepat mungkin ke posisi terlentang. Habis sudah, aku sekarat. Kuku-kukunya menembus begitu dalam, mungkin beberapa tulang pinggul dan punggungku sudah retak karenanya.
Kawanan monster itu mulai menyantapku dengan buas. Sedikit demi sedikit. Aku sudah tak bisa bergerak, namum mataku masih bisa menatap rembulan yang tersenyum. Makin habis badanku. Semakin lama rasa sakit gigitan-gigitan monster-monster itu tak dapat ku rasakan. Di ujung mataku senyuman rembulan semakin lebar menyaksikan penghabisan ini, seraya bertanya 'mengapa mereka tidak mencium bau darahku?'. Hingga akhirnya tak dapat ku lihat seringaian rembulan. Mungkin memang ini takdir dari si mangsa serigala.


vidyafa

DEBAT #edisicurhat

"DEBAT
bukan tempat untuk mencari pembenaran, melainkan kebenaran"

Anything wrong with that?!

Mungkin di pikiran orang-orang sekarang debat merupakan hal yang dianggap melelahkan. Karena biasanya, dan kebanyakan yang saya pribadi saksikan akhir-akhir ini, debat dijadikan tempat untuk mencari pembenaran, mencari dukungan banyak orang, bahkan mencari kemenangan agar 'dipandang'. Sehingga banyak orang yang cenderung tidak suka, atau bahkan menghindarinya dan beranggapan as they say "kayaknya nggak mungkin..." atau "kayaknya susah kalau mencari kebenaran lewat debat".

Memang sih di KBBI tertulis bahwa debat merupakan kegiatan untuk bertukar pendapat dan mempertahankannya dengan argumen masing-masing (kurang lebih demikian).
Yang namanya 'bertukar', ya saling mengerti dan terbuka atas pendapat pihak lain, bukan?! (Yaa kalau menurut anda bukan, yaa ndak apa-apa, ini pendapat saya).
Maka hanya orang-orang yang terbuka pandangan, pikiran, dan hatinya lah yang akan menerima kebenaran itu, meskipun datangnya dari orang lain yang mungkin tidak kita suka. Kata orang mah kita kudu liat secara objektif kan, bukan secara subjektif.

Jadi sebenarnya debat itu sah sah saja, selama masih mengikuti tata krama. Seperti tidak memotong pembicaraan orang / pihak lawan bicara, tidak gontok-gontokan (ngotot), atau bahkan main fisik. Karena biasanya, orang yang akan mulai ngotot memiliki baqa' (naluri pertahanan diri) yang tinggi, sehingga tidak mau mendengarkan perkataan orang lain. Dan biasanya juga merasa dirinya terancam. Biasanya yang seperti ini tidak mau mengalah, karena biasanya mereka berpikiran kalau kalah debat yang ditanggung yaa... malu (nah ini nih yang harus diubah dalam pandangan setiap orang, termasuk gue 😂). Yaa jadilah debat kusir, di mana salah satu pihak atau seluruh pihak yang terlibat saling melontarkan pendapat dengan argumen yang biasanya sudah tidak masuk akal. Nah, debat semacam inilah yang baiknya ditinggalkan.

Gitu deh, sedikit unek-unek dan sedikit pendapat gue yang akhir-akhir ini terngiang-ngiang di pikiran wkwk. Akhir kata, mohon maaf bila ada kesalahan. Bye 😉

vidyafa

APRESIASI #edisicurhat

Terkadang kalau lagi ga ada kerjaan, bisa buka ig sampe post yang beberapa minggu lalu dipost akun-akaun yang terfollow 😂
Ada kalanya gue akan memberikan 'love' pada seluruh post yang gue lihat. Ada kalanya gue cuma melihat.
Ada alasannya kenapa gue kasih 'love' sebuah post.
Alasannya bukan sekedar gue di-tag di sana, atau ada akun lain yang di-tag di sana #eh. Terkadang bukan juga karena pengambilan gambar yang bagus, atau karya yabg indah.
Terkadang memberikan 'love' untuk mengapresiasi sebuah peristiwa... moment yang mereka abadikan... Moment yang ingin mereka simpan. Love those moments. Walaupun gambar yang diambil terkadang apa banget #peace wk, walau terkadang captionnya apa banget #peace lagi wk.
But
I'm loving appreciating the moment :)

Memang sih ig banyak yang menarik, tidak seperti path yang mulai ditianggalkan para penggunanya dengan alasan applikasinya yang 'berat'.
But I love using my path more than ig. Bisa lihat akun ig gue kosong, no post, no story, nothing. Cuma ada tag dari org2 yang sempat bermoment ria dengan gue, hehe.
Its not like I hate using ig or something. I just dont like to post every thing in a picture. Terkadang gue lebih suka menggunakan lagu utk menyampaikan apa yg gue pikirkan saat itu, dan itu tersedia di path.
Gue juga tidak menggunakan path utk mencari like sebanyaknya :p as i said that people start leaving that app :') but i use it just like a diary wkwk. As you know diary doesnt need to be seen. Thats another reason hehe..
I like appreciating, but doesnt really like to be seen #sometimes

There are many more reasons 😂 #bahasaapacoba
Too much illogical reasons that I have :p

vidyafa

DON'T JUDGE THE BOOK BY ITS COVER

"DON'T JUDGE THE BOOK BY ITS COVER", the wise said.

terus kita harus mengenal org lain lebih dalam kan? bukan dari sekedar penampilannya.
lalu bagaimana dengan pemikiran/tanggapan orang? well, people I know judge it by the words itself.
dont you ever think to ask the person who has that thought? well ask that person to know why he has that thought.

vidyafa

PENGAKUAN #edisicurhat

I am not the best person in the world

Maybe people keep telling me how friendly I am, or I am so kind or care for others.
No, I am not actually the person that you think.

I was emotionally emotional (wut?!), I was so easily upset, I didn't care people, I didn't care my surrounding. Just me, myself, and I. Maybe that's all still me.
I can't speak fluently (really, literally). I'm afraid of starting conversation. I'm afraid of making relationships, like friendship. Bahkan sekedar melakukan sapaan saat berpapasan pun sulit. gue selalu takut melakukan hal kecil yang berhubungan dengan orang lain. Like starting conversation like I said before. Gue kadang nggak ngerti bagaimana harus bersikap, or how to react. So that's the reason why I just make a straight face, even I can easily doing that.

Gue bukan tipe orang yang berpikir bahwa komunikasi jarak jauh itu penting. Like when the holidays come, then all of the communications just stop right there. Then nothing. No texting, no calling, no chatting, nothing. Literally nothing. So that made me have no real friends, until then.

Kemudian gue mulai belajar dari orang-orang sekitar. Gue mulai tahu bahwa friendships are important, so do how to maintain it. How to make relations with people, not only with myself. Dan gue sempat menyesalinya. Kenapa orang lain masih bisa berkumpul dengan teman-teman lamanya, sedangkan gue?!

It's so hard to make myself like what people think now.
And its still hard to start it, in every step when I take a closer step to others. It's just hard.
Also another step to act. Hard. Afraid. I am trying. Really hard.
Dan gue mulai belajar untuk tidak menghiraukan apa yang gue takutkan, bahkan terkadang kelewatan ha! Sorry :'(

You know I am still trying hard to do everything that people want to see in me.
It's not like I hate my self or what. I really love myself, all of what Allah gives to me, no matter what. But, I just dont know how to live a life.
I am learning.

vidyafa
I don't even know if its the right time to tell all over the world about what I feel nowadays.

First,
Im kinda fed up with "Ga mau" or "Ga siap"

Second,
Im kinda sick of you guys for not telling what you want or what should I do because of what I did. Or something that you should do.
Why dont you help me by telling me in front of me, by telling me the truth, by telling me at that time.
Sometimes I just wanna quit it.
Why having friends who cannot be friends at any time, any rate.
Palsu. Kalau gue salah, ya kasih tau saat itu juga. Bukan nunggu-nunggu nanti, berasa ga ada masalah apa-apa.

And there's another story,
There is a chat, and you guys dont even want to open it.
Why dont you just say, "maybe thats not the right time for doing something".
Thats why I always reply a chat (almost always), even if its a silly thing.


For the first story
So when you're gonna be ready for something?
Bukannya itu semua bukan buat orang lalin?! Bukannya itu semua buat diri sendiri dan motivasinya adalah tujuan hidup diri sendiri?! To achieve something big afterlife. Habis itu, main lempar-lemparan. Haha lucu sih.
The first story is a real big story. Kecewa aja. Seharusnya orang-orang seperti kalian yang bisa diajak bareng-bareng dalam keadaan apa pun. Seharusnya orang-orang seperti kalian yang harusnya mengerti. Karena kalian yang punya kelebihan-kelebihan itu. But why?

There's the ring, going back to the first story every Saturday day.
People doesn't know the real stories are.
Are they really like that? Or is it me who don't know to see?
Mungkin aku yang salah. Aku minta maaf.

Pesan dari Si Aku

Seseorang berkata :
"Targetkanlah apa yang ingin kanu lakukan di kemudian hari, meskipun belum tentu tercapai pada saat itu juga yang dikarenakan bukan oleh Kamu"

Sedangkan Orang Lain berkata :
"Tidak bisa buat target karena ini dan itu"

Aku mengerti, Orang Lain di sebuah Tempat yang Sibuk Itu punya banyak hal yang harus dikerjakan, ditambah lagi hal-hal baru yang datang dan harus dikerjakan saat itu juga, dan terkadang tidak tepat.
Meskipun Aku tak tahu persisnya seperti apa.

Dan selanjutnya yang Aku sadari adalah :
"Apakah salah bertarget? Apa salahnya punya target? Apakah setidaknya dengan adanya target itu, kita sudah berusaha meskipun hanya berpikir. Dengan begitu, apakah Semua Orang tidak akan berusaha meskipun babyak hal lain yang harus dikerjakan? Tidak kan?! Itu semua ditentukan oleh Kamu. Yang aku tahu, di sana ada Banyak Orang yang mampu dan seharusnya mau ditempatkan."

Aku juga telah melihat hal-hal lain yang dilakukan Semua Orang di Tempat yang Sibuk Itu. Tak hanya target yang jadi gangguan dalam pikiran Aku. Tapi Orang-Orang di dalam Tempat yang Sibuk Itu.

Sejak itu Aku menerka Orang Lain seperti apa. Aku tidak yakin dengan Orang Lain sampai pesan ini Aku sampaikan, dan apa yang selanjutnya akan Orang Lain lakukan.
Aku tahu Aku bukan siapa-siapa yang tidak pernah resmi ada di Tempat yang Sibuk Itu. Akankah Orang Lain mendengarkan Aku yang bukan siapa-siapa ini?
Kemudian pesan Aku ini harus Aku sampaikan kepada Siapa?

Kutipan hati hari ini:

Tidak menutup kemungkinan pikiran dua orang yang tak saling kenal itu sama mehehhe

Renungan

Kala itu aku tak sedang merasakan apapun. Tak sedang mencoba memikirkan sesuatupun. Pikiranku hanya diam selagi melakukan hal-hal biasanya.
Ku raih ponselku yang sedari tadi aku diamkan. Ada tulisan. Ada renungan di salah satu pesan.
Renungan yang membangkitkan kenangan-kenangan dulu, tapi bukan ku sesali, dan tak ku tangisi. Dari renungan itu, aku mensyukuri, mengikhlaskan, menuai pelajaran darinya, dari kenangan-kenangan itu. Kenangan itu bukan untuk dilupakan ternyata.
Renungan itu membuat aku menyadari bahwa kenangan-kenangan itulah yang membuat aku seperti ini sekarang, lebih kuat, lebih bisa menahan, lebih bisa mendengarkan.
Aku mensyukurinya, aku bersyukur aku telah diingatkan.

vidya

Daisypath Happy Birthday tickers
Daisypath Halloween tickers