Senyum Rembulan

Malam begitu dingin menusuk hingga tulangku tak bisa merasakan apa-apa. Aku berhenti dari lari panjangku yang sudah entah berapa lama. Aku tak terduduk, tetap berdiri kemudian menengadah menatap langit di tengah padang sabana. Ada bulan. Ya, rembulan yang tersenyum, seakan melengkungkan senyum kemenangan. Kemudian aku mulai menjejakkan kaki kembali melangkah menuju sebuah pohon nun jauh di sana.
Beberapa langkah sudah aku memijakkan kaki ke tanah sambil mengingat apa yang terjadi beberapa waktu lalu. Beberapa waktu lalu aku sedang berlari kencang sembari menahan sakitnya luka di sana sini. Aku berlari dengan ketakutan yang amat sangat. Entah apa yang aku takuti. Terluka? Mungkin. Mati? Sangat mungkin. Kehilangan nyawa adalah hal yang paling tabu untuk aku pikirkan sejak kecil. Akan ada banyak pikiran liar tentang kematian yang menyeruak masuk dan memenuhi saluruh rongga kepalaku.
Sampailah aku pada pohon yang sedari tadi aku targetkan. Ternyata lumayan besar, jauh dari bayanganku sebelumnya. Tak terlalu besar untuk dipanjat. Aku pun memanjat pohon itu dengan susah payah. Berharap tak ditemukan oleh makhluk yang sudah menghabisi keluargaku. Monster.
Sampailah aku pada dahan yang lumayan kuat menopangku. Aku terbaring dan kembali menatap senyuman rembulan. Aku kembali teringat dengan peristiwa penghabisan di rumah. Ingatan itu sudah tak bisa mengalirkan air mata. Jauh dari rumah yang sudah tidak ada penghuninya membuatku mati rasa. Aku lelah. Ingin tidur. Tapi ingatan keluargaku membuatku terjaga. Tapi akhirnya mataku tertutup juga. Aku merasa aman.
Tiba-tiba aku terbangun karena suara lolongan. Mataku membelalak menatap bulan yang tersenyum semakin lebar. Lolongan itu. Lolongan si monster. Lolongan si pembunuh. Lolongan itu terdengar sangat dekat. Aku lengah. Jantungku berpacu dengan napasku yabg tersengal karena kaget. Tidak akan sempat rasanya bila aku turun dan kembali berlari. Dan luka-lukaku akhirnya memberi rasa sakit yang samakin luas. Sepertinya ia mencium bau darahku. Memang sudah tidak mengeluarkan darah sebanyak tadi, tapi tetap menetes. Aku tak bisa beranjak lebih jauh. Aku akan tetap di sini sampai monster itu berlalu sambil menekan luka lenganku yang masih menetes. Aku menunggu.
Lolongan itu semakin dekat. Aku membelalak kaget setelah mendengar lolongan lain bersama si monster. Ia tidak sendirian. Degup jantung yang mulai mereda kini kembali berdetak kencang. Aku mulai panik. Dua, tiga, empat, lima... Detak jantungku menghitung jumlah kawanan monster itu. Napasku makin tersengal, namun aku berusaha diam. Kawanan monster itu berbicara satu sama lain, dan berhenti tepat di bawah pohonku. Entah apa yabg mereka bicarakan, aku tidak mengerti bahasanya. Erangan, desisan, dan satu dua lolongan. Kemudian mereka mengambil posisi istirahat. Mungkin mereka mau tidur. Ini akan memakan waktu lama.
Darah dari luka yang sedari tadi ku tekan akhirnya tak terbendung, mencari sela untuk keluar. Aku menyadarinya, namun aku tak dapat berbuat apa-apa. Tes. Darah itu menetes ke atas kepala salah satu dari kawanan monster itu. Ia terbangun dan menengadah ke atas pohon. Check mate. Monster itu menggeram srhungga membangunkan monster lainnya yang belum sepenuhnya tertidur. Monster lain tersenyum lebar. Aku mulai mengambil posisi siaga. Salah satu monster mengetuk-ngetukkan kukunya ke pohon, membuat aku menengok padanya. Tanpa ku sadari monster yang terjauh dari pohon melompat berusaha menerkamku dan membuat dahan yang ku gantungi patah. Aku terjatuh bersamanya. Aku berusaha berlari. Monster lainnya menerkamku. Cakarnya menancap tepat di pinggangku dan membalikkan badanku secepat mungkin ke posisi terlentang. Habis sudah, aku sekarat. Kuku-kukunya menembus begitu dalam, mungkin beberapa tulang pinggul dan punggungku sudah retak karenanya.
Kawanan monster itu mulai menyantapku dengan buas. Sedikit demi sedikit. Aku sudah tak bisa bergerak, namum mataku masih bisa menatap rembulan yang tersenyum. Makin habis badanku. Semakin lama rasa sakit gigitan-gigitan monster-monster itu tak dapat ku rasakan. Di ujung mataku senyuman rembulan semakin lebar menyaksikan penghabisan ini, seraya bertanya 'mengapa mereka tidak mencium bau darahku?'. Hingga akhirnya tak dapat ku lihat seringaian rembulan. Mungkin memang ini takdir dari si mangsa serigala.


vidyafa

Posting Komentar

Daisypath Happy Birthday tickers
Daisypath Halloween tickers