Please, don't waste others' time
Just don't

If you can't keep your promises
Don't promise
Just don't

Well, Im sorry, but..
how if others be out of sorts
So don't
Just don't

Semakin tidak percaya diri 😢
What do i do 😕

Sometimes You Just Regret

Sometimes
You just regret what you said

Sometimes
You just regret what you did

Sometimes
You just regret what you tought

Sometimes
You just regret what you complained

Sometimes
You just regret what you regreted

But thats only sometimes
When you regret it

vidyafa

Pintu, Pintu



Siang itu matahari terik menusuk kulit kami. Kami berempat sudah berjalan begitu jauh. Berliter keringat kami terbuang sudah, mengalir melalui pori kulit kami dan menetes begitu saja ke tanah gersang yang asing ini. Kulit kami mulai terbakar, memerah, panas. Kami beristirahat sejenak dengan bekal kami. Hanya sebotol air minum yang tersisa, kami duduk mengelilinginya.
Satu botol kecil air minum. Benar-benar hanya satu untuk kami semua. Sisanya hanya makanan. Kami tidak lapar. Tidak kami ketahui sebelumnya kami akan sampai di tempat seperti ini. Kami semua terdiam tak berani menyentuhnya. Takut akan perjalanan gersang yang mungkin akan lebih lama lagi.

"Aku sudah tidak tahan lagi!", Joni berteriak kesal dan menenggak air sisa itu.

"Hei!", pekik Leah sambil menenggakkan kepalanya ke arah Joni yang sudah berdiri. Tapi tak ada seorang pun yang mencegah Joni. Diam. Seakan berpikir tidak ada gunanya minum meski hanya sedikit. Semua menunduk di bawah topi rimbanya masing-masing. Pasrah. Kami haus. Tapi keputusasaan kami dapat mengalahkan segalanya saat itu.

Aku melirik pada Ethan yang sedari tadi hanya diam. Ia pemimpin kami. Tapi kini ia sendiri belum melakukan apapun. Kami belum tahu harus melakukan apa, bahkan mungkin Ethan juga.

Ethan berdiri seketika dan mencengkeram tangan Joni ketika air kami hampir habis. Joni menjauhkan botol minum dari mulutnya. Mereka saling tatap dalam waktu yang lama. Keduanya tak berkutik. Tak ingin berkelahi, namun meluapkan emosi mereka lewat tatap tajam.

Seketika Ethan teralihkan dengan sesosok lelaki yang lewat di seberang pandangannya. Orang itu menghilang.

"Apa yang...", bisik Ethan sambil merenggangkan cengkeraman tangannya. "Tadi ada...", lanjutnya meski pernyataannya menggantung. Membuat kami bingung.

"Apa?", Joni menangkap kebingungan Ethan dan menengok ke belakang. Tak ia dapati apa-apa. "Ethan?", tanyanya lagi.

Ethan tak menjawab dan melepas cengkeraman tangannya seutuhnya. Ia berjalan meninggalkan tempat peristirahatan kami, sedikit berlari ke arah menghilangnya sosok yang ia lihat. Kami mengikuti Ethan. Ethan menghilang bagai ada portal menuju alam lain. Kami terkejut dan berhenti seketika.

"Wow! Apa yang...", seru Joni sambil merentangkan tangannya seakan menghentikan laju gerak kami.
 
Aku menepis tangan Joni sambil berjalan dengan sedikit keraguan yang terkalahkan dengan rasa penasaranku. Joni dan Leah mengikutiku.

Kami menghilang. Menembus dinding tak terlihat bagai pintu menuju dimensi lain. Kami sampai di antah berantah. Pemandangannya bagai halaman istana yang luas. Kami dihadapkan dengan labirin dengan dinding yang tinggi. Hijau karena terbuat dari tanaman, namun tampak cukup tebal hingga tak bisa tertembus.

Itu dia, Ethan. Sedikit berlari seperti mengejar sesuatu dan masuk dalam labirin. Kami mengejar. Terus hingga jauh ke dalam labirin. Begitu banyak kelokan yang kami lalui. Kami tahu akan sangat sulit kami kembali. Kami tak ingin kembali sejujurnya, membuat kami tak ingin menengok ke belakang. Seperti dikejar, namun tak ada yang mengejar kami. Waktu? Mungkin.

Kami sampai pada tembok besar dengan cekungan besar berbentuk lubang kunci tak hanya satu beberapa cekungan yang sama berderet. Entah ada berapa bentuk yang sama. Tembok itu terbentang jauh, sepertinya.

Kami bertiga memperlambat lari kami. Ethan mnengok ke belakang ke arah kami, tahu kami ikuti. Tatapan tanpa ekspresi itu sepertinya familiar, kupikir, tapi tak dapat ku ingat. Ethan masuk menembus tembok itu. Kami berlari kembali ke arah Ethan yang sudah menghilang.


"Hei!", kata Leah sesampainya di tembok besar itu, menggedor-gedor tembok itu, tapi tak dapat tertembus. Joni mengikutinya dan ikut menggedor tembok itu.

"Hei, lihat!", kata ku menghentikan aksi mereka. Aku menyentuhkan tanganku sedikit mendorong pelan ke dalam lekukan lubang kunci itu. Aku terhisap ke dalam, agak panik sebenarnya. Tapi aku pasrah terhisap, memejamkan mata, wajahku seperti terkena ranting berdaun lebat. Aku tahu Ethan di seberang sana. Joni dan Leah mengikuti.

"Aw!", keluh Joni dan Leah hampir bersamaan.

Kami tiba di sebuah ruangan bernuansa timur tengah. Ku lihat Ethan sudah setengah menghilang di lantai. Melewati sebuah kalung mutiara berwarna ungu. Berpendar ketika Ethan melewatinya.
Aku segera mengikuti Ethan melompat melalui kalung itu, diikuti oleh Joni dan Leah.

Terus, terus, dan terus kami lewati pintu-pintu menuju dimensi-dimensi lain. Berbagai macam pintu kami lewati. Lapisan membran tipis berlendir, lubang di tengah pasir hisap dalam hutan hujan, menyelami danau tanpa kami harus menahan napas, celah peron, lemari pakaian, mulut hiu?, atau pintu lainnya yang membuat kami selalu terkejut, atau hampir mati. Entah berapa lama kami melalui perjalanan yang aneh ini. Berkali-kali berenang, berkali-kali berlari, berkali-kali terheran. Ya, berkali-kali.

Bahkan kini kami berada di tengah badai salju yang membuat kami kedinginan setengah mati. Badai itu menghambat gerak kami, bahkan membuat kami kehilangan Ethan. Memang tempatnya yang selalu berubah, tidak dengan baju kami. Tepat sebelum kami menyerah, kami menemukan sebuah lubang gua yang mengarah agak ke bawah dan memasukinya. Ternyata Ethan sudah berada di dalam, berusaha melewati  celah yang terlihat dalam. Kau sudah tahu apa yang kami lakukan. Ya, tentu saja kami mengikutinya.

Setelah melewati celah sempit dalam gua di tengah badai salju itu, kami sampai pada tempat yang amat kami kenal. Heran. Kami hanya saling pandang. Kami kembali pada tempat peristirahatan kami di gurun. Tapi ada satu hal yang lebih mengherankan. Di sana, tepat di tempat kami duduk dan sempat bersitegang tadi ada kami di sana. Siapa mereka? Kenapa?

Kejadian yang sama pada kami kembali terulang pada mereka, kami yang lain. Joni yang menghabiskan minum kami, pekikan Leah, dan Ethan. Tentu saja Ethan yang lain. Ia mengejar seorang lelaki dengan jubah itu. Namun lelaki itu tidak ke mana-mana. Ia berdiri tegak memandang Ethan. Keduanya berhadapan. Lelaki itu menghadapkan telapak tangannya pada Ethan. Tangannya mengeluarkan cahaya biru terang yang lembut yang perlahan merayap ke kepala Ethan. Kami yang lain kini berusaha berlari ke arah Ethan, mungkin untuk menyelamatkannya. Cahaya itu membuat mata Ethan menyala biru. Sepertinya ia kehilangan kesadarannya. Berlutut lemas dan ambruk.

Kemudian tangan lelaki berjubah itu beralih pada kami yang lain, dan seketika itu pula lari mereka terhenti. Perubahan yang sama terjadi pada mata mereka. Ambruk. Mereka tergeletak di sana. Bergeliat. Kami hanya bisa diam dan menyaksikan dengan tegang, tanpa berbuat apa-apa. Apakah kami harus lari? Atau melawan? Menyelamatkan mereka? Tapi bagaimana?

Kami yang lain masih berusaha bangkit dan melawan kesakitan yang mungkin mereka rasakan. Semakin lemah erangan mereka, semakin kami menyadari bahwa kami perlahan menghilang. Tangan kami mulai transparan dan semakin tidak terlihat. Mati rasa sudah. Aku berlutut lemas dan akhirnya ambruk. Semakin kami menghilang, aku menyadari satu hal, di mana Ethan? Ethan kami yang sedari tadi kami kejar? Aku mengernyitkan mataku yang semakin kabur untuk melihat si lelaki berjubah itu. Hal terakhir yang aku lihat lelaki itu membuka tudung jubahnya, aku bisa melihat wajahnya. Ethan. Kemudian semuanya berubah gelap.


vidyafa

Berhenti

Sebuah kata dalam baris puisi
Ingat kita dalam sebuah akuisisi
Membawa kita dalam petisi
Merenggut hati segala isi

Aku berhenti
Bukan buku yang berarti
Hanya hati yang terlucuti
Mata hati tidak mati

Ingat dulu yang kau lalui
Terlewati ku akui
Apalah arti eksekusi
Jika hanya dalam jeruji

Seketika ku berhenti
Mata hati kini mati
Tanpa tahu hendak nanti
Kini aku berhenti

vidyafa

Urusan Dia

Dont you know?
Akhir-akhir ini kami terlibat dalam sebuah kelompok, sebuah kepanitiaan yang khusus menangani suatu event rutin yang kami garap.
Event ini memang salah satu yang kami buat, salah satu tanggung jawab besar kami, salah satu ladang pahala bagi kami (aamiin).
Karena ada sebuah tanggung jawab, di dalamnya ada satu penanggung jawab kami, pemimpin kami yang seharusnya bisa merangkul dan menuntun kami.
Suatu ketika, beberapa dari kami merasa ada beberapa hal yang membuat kami jengah dengan si penanggung jawab itu.
First thing first, many of us gave our ideas, tapi ditolak. Terkadang penolakannya bukan dengan alasan yang baik, bahkan terkadang tidak bisa diterima, atau mungkin dengan nada merendahkan (?) Who knows people see it like that, hmm.
Next, ketika kami dibebankan suatu pekerjaan, kami dilepas. Kemudian kami datang dengan rencana matang kami, namun semuanya diubah. Lalu kenapa tidak sedari awal kami dibimbing? Atau setidaknya diarahkan?
Aaand other things.
One day, someone told me, "wajar sih, karena dia pj, memang tanggung jawabnya besar, pegang sana sini".
Okay, it's much illuminating, but thats it, I didnt really see the point. I get it, but not really.
Then, one day, someone yang sudah berpengalaman sana-sini dan sudah makan banyak asam garam serta mengerti banyak hal, she told me (not only me actually) "... Just do what our leader told us to do, even they never listen to us, or never accept our ideas, its okay" then there was a little gap in silence, she continued just before I nearly gulp it all over "itu urusan dia nanti sama Allah".
Thats it. Whatever it is, just do it. Yang penting kita ikhlas, ridhlo dan hanya mengharap pahala-Nya. Ingat saja segala sesuatu yang kita perbuat pasti ada ganjarannya, Insyaa Allah.
Kita hanya mengharap pahala bukan?! 
vidyafa

Si Dia yang Buruk Rupa

Terlalu banyak yang ingin dikatakan untuk berkata-kata.

Akhir-akhir ini terlalu banyak dan semakin mencuat lah keburukan Si Dia. Sudah banyak yang menegur, mencoba mengingatkan, mencoba meluruskan dan menyadarkan Si Dia.

Si Dia bilang, ia suka jika banyak orang menegurnya jika ada yang salah pasa si Dia. "Untuk mengingatkan", katanya.
Tapi setelahnya, apa yang dilakukan si Dia? Apa pengaruh bagi si Dia itu? Apakah Si Dia hanya mendengarkan tanpa menyelami apa yang orang serukan? Mungkin. Ataukah Si Dia hanya pura-pura mendengar dengan sumbatan gendang telinganya bertengger di sana?

Orang yang dianggap membahayakan Si Dia, dibungkam, diberhentikan, dibekukan, dan dicabut hak-haknya. Dijerumuskan dalam penjara kesunyian. Tak hanya itu, nama bersihnya dikotori dengan segudang tuduhan. Namanya dilibatkan dalam momen-momen perseteruan.

Apakah tidak cukup?

Masih banyak korban yang tak kau lihat. Korban dari Si Dia yang tak kau ketahui namanya. Korban dari pelucutan hak yang seharusnya dimiliki.

Sudah saatnya semua tahu Si Dia yang Buruk Rupa. Si Dia yang menebar kebohongan. Perkataan Si Dia hanyalah angin lalu. Biarlah Si Dia pergi bersama apa yang menaunginya. Sudah saatnya kebenaran yang menaungi kita.

-vidyafa-

Daisypath Happy Birthday tickers
Daisypath Halloween tickers