Siang itu matahari terik menusuk
kulit kami. Kami berempat sudah berjalan begitu jauh. Berliter keringat kami terbuang
sudah, mengalir melalui pori kulit kami dan menetes begitu saja ke tanah
gersang yang asing ini. Kulit kami mulai terbakar, memerah, panas. Kami beristirahat
sejenak dengan bekal kami. Hanya sebotol air minum yang tersisa, kami duduk
mengelilinginya.
Satu botol kecil air minum.
Benar-benar hanya satu untuk kami semua. Sisanya hanya makanan. Kami tidak
lapar. Tidak kami ketahui sebelumnya kami akan sampai di tempat seperti ini. Kami
semua terdiam tak berani menyentuhnya. Takut akan perjalanan gersang yang
mungkin akan lebih lama lagi.
"Aku sudah tidak tahan
lagi!", Joni berteriak kesal dan menenggak air sisa itu.
"Hei!", pekik Leah
sambil menenggakkan kepalanya ke arah Joni yang sudah berdiri. Tapi tak ada
seorang pun yang mencegah Joni. Diam. Seakan berpikir tidak ada gunanya minum
meski hanya sedikit. Semua menunduk di bawah topi rimbanya masing-masing. Pasrah.
Kami haus. Tapi keputusasaan kami dapat mengalahkan segalanya saat itu.
Aku melirik pada Ethan yang
sedari tadi hanya diam. Ia pemimpin kami. Tapi kini ia sendiri belum melakukan
apapun. Kami belum tahu harus melakukan apa, bahkan mungkin Ethan juga.
Ethan berdiri seketika dan
mencengkeram tangan Joni ketika air kami hampir habis. Joni menjauhkan botol
minum dari mulutnya. Mereka saling tatap dalam waktu yang lama. Keduanya tak
berkutik. Tak ingin berkelahi, namun meluapkan emosi mereka lewat tatap tajam.
Seketika Ethan teralihkan dengan
sesosok lelaki yang lewat di seberang pandangannya. Orang itu menghilang.
"Apa yang...", bisik
Ethan sambil merenggangkan cengkeraman tangannya. "Tadi ada...",
lanjutnya meski pernyataannya menggantung. Membuat kami bingung.
"Apa?", Joni menangkap
kebingungan Ethan dan menengok ke belakang. Tak ia dapati apa-apa. "Ethan?",
tanyanya lagi.
Ethan tak menjawab dan melepas
cengkeraman tangannya seutuhnya. Ia berjalan meninggalkan tempat peristirahatan
kami, sedikit berlari ke arah menghilangnya sosok yang ia lihat. Kami mengikuti
Ethan. Ethan menghilang bagai ada portal menuju alam lain. Kami terkejut dan
berhenti seketika.
"Wow! Apa yang...",
seru Joni sambil merentangkan tangannya seakan menghentikan laju gerak kami.
Aku menepis tangan Joni sambil berjalan dengan sedikit keraguan yang
terkalahkan dengan rasa penasaranku. Joni dan Leah mengikutiku.
Kami menghilang. Menembus dinding
tak terlihat bagai pintu menuju dimensi lain. Kami sampai di antah berantah.
Pemandangannya bagai halaman istana yang luas. Kami dihadapkan dengan labirin
dengan dinding yang tinggi. Hijau karena terbuat dari tanaman, namun tampak
cukup tebal hingga tak bisa tertembus.
Itu dia, Ethan. Sedikit berlari
seperti mengejar sesuatu dan masuk dalam labirin. Kami mengejar. Terus hingga
jauh ke dalam labirin. Begitu banyak kelokan yang kami lalui. Kami tahu akan
sangat sulit kami kembali. Kami tak ingin kembali sejujurnya, membuat kami tak
ingin menengok ke belakang. Seperti dikejar, namun tak ada yang mengejar kami.
Waktu? Mungkin.
Kami sampai pada tembok besar
dengan cekungan besar berbentuk lubang kunci tak hanya satu beberapa cekungan
yang sama berderet. Entah ada berapa bentuk yang sama. Tembok itu terbentang
jauh, sepertinya.
Kami bertiga memperlambat lari
kami. Ethan mnengok ke belakang ke arah kami, tahu kami ikuti. Tatapan tanpa
ekspresi itu sepertinya familiar, kupikir, tapi tak dapat ku ingat. Ethan masuk
menembus tembok itu. Kami berlari kembali ke arah Ethan yang sudah menghilang.
"Hei!", kata Leah
sesampainya di tembok besar itu, menggedor-gedor tembok itu, tapi tak dapat
tertembus. Joni mengikutinya dan ikut menggedor tembok itu.
"Hei, lihat!", kata ku
menghentikan aksi mereka. Aku menyentuhkan tanganku sedikit mendorong pelan ke
dalam lekukan lubang kunci itu. Aku terhisap ke dalam, agak panik sebenarnya.
Tapi aku pasrah terhisap, memejamkan mata, wajahku seperti terkena ranting
berdaun lebat. Aku tahu Ethan di seberang sana. Joni dan Leah mengikuti.
"Aw!", keluh Joni dan
Leah hampir bersamaan.
Kami tiba di sebuah ruangan
bernuansa timur tengah. Ku lihat Ethan sudah setengah menghilang di lantai.
Melewati sebuah kalung mutiara berwarna ungu. Berpendar ketika Ethan
melewatinya.
Aku segera mengikuti Ethan melompat melalui kalung itu, diikuti oleh Joni dan
Leah.
Terus, terus, dan terus kami
lewati pintu-pintu menuju dimensi-dimensi lain. Berbagai macam pintu kami
lewati. Lapisan membran tipis berlendir, lubang di tengah pasir hisap dalam
hutan hujan, menyelami danau tanpa kami harus menahan napas, celah peron,
lemari pakaian, mulut hiu?, atau pintu lainnya yang membuat kami selalu
terkejut, atau hampir mati. Entah berapa lama kami melalui perjalanan yang aneh
ini. Berkali-kali berenang, berkali-kali berlari, berkali-kali terheran. Ya,
berkali-kali.
Bahkan kini kami berada di tengah
badai salju yang membuat kami kedinginan setengah mati. Badai itu menghambat
gerak kami, bahkan membuat kami kehilangan Ethan. Memang tempatnya yang selalu
berubah, tidak dengan baju kami. Tepat sebelum kami menyerah, kami menemukan
sebuah lubang gua yang mengarah agak ke bawah dan memasukinya. Ternyata Ethan
sudah berada di dalam, berusaha melewati
celah yang terlihat dalam. Kau sudah tahu apa yang kami lakukan. Ya,
tentu saja kami mengikutinya.
Setelah melewati celah sempit
dalam gua di tengah badai salju itu, kami sampai pada tempat yang amat kami
kenal. Heran. Kami hanya saling pandang. Kami kembali pada tempat
peristirahatan kami di gurun. Tapi ada satu hal yang lebih mengherankan. Di
sana, tepat di tempat kami duduk dan sempat bersitegang tadi ada kami di sana.
Siapa mereka? Kenapa?
Kejadian yang sama pada kami
kembali terulang pada mereka, kami yang lain. Joni yang menghabiskan minum
kami, pekikan Leah, dan Ethan. Tentu saja Ethan yang lain. Ia mengejar seorang
lelaki dengan jubah itu. Namun lelaki itu tidak ke mana-mana. Ia berdiri tegak
memandang Ethan. Keduanya berhadapan. Lelaki itu menghadapkan telapak tangannya
pada Ethan. Tangannya mengeluarkan cahaya biru terang yang lembut yang perlahan
merayap ke kepala Ethan. Kami yang lain kini berusaha berlari ke arah Ethan,
mungkin untuk menyelamatkannya. Cahaya itu membuat mata Ethan menyala biru.
Sepertinya ia kehilangan kesadarannya. Berlutut lemas dan ambruk.
Kemudian tangan lelaki berjubah
itu beralih pada kami yang lain, dan seketika itu pula lari mereka terhenti.
Perubahan yang sama terjadi pada mata mereka. Ambruk. Mereka tergeletak di
sana. Bergeliat. Kami hanya bisa diam dan menyaksikan dengan tegang, tanpa
berbuat apa-apa. Apakah kami harus lari? Atau melawan? Menyelamatkan mereka?
Tapi bagaimana?
Kami yang lain masih berusaha
bangkit dan melawan kesakitan yang mungkin mereka rasakan. Semakin lemah
erangan mereka, semakin kami menyadari bahwa kami perlahan menghilang. Tangan
kami mulai transparan dan semakin tidak terlihat. Mati rasa sudah. Aku berlutut
lemas dan akhirnya ambruk. Semakin kami menghilang, aku menyadari satu hal, di
mana Ethan? Ethan kami yang sedari tadi kami kejar? Aku mengernyitkan mataku
yang semakin kabur untuk melihat si lelaki berjubah itu. Hal terakhir yang aku
lihat lelaki itu membuka tudung jubahnya, aku bisa melihat wajahnya. Ethan.
Kemudian semuanya berubah gelap.
vidyafa